TRENDING NOW

TULISAN ringan ini hanya untuk mengajak kita untuk merenung sebagai anak bangsa yang akan menyelenggarakan Pemilihan Presiden 2019 yang akan menentukan nasib bangsa ke depan.

Jangan direspons berlebihan, apalagi emosi, karena tidak terima kandidat jagoannya tersudutkan. Ini untuk yang masih memiliki nurani yang masih terjaga dan nalar yang masih terbuka.



Simak delapan tanda tersebut untuk bahan renungan Pemilihan Presiden Indonesia kedelapan:

Pertama, pada saat Deklarasi Damai untuk Pemilu 2019, semua pimpinan partai diberikan satu ekor burung merpati termasuk dua pasangan capres dan cawapres, apa yang terjadi.? Saat burung yang lain terbang bebas, burung yang dilepas cawapres KH. Ma'ruf Amin malah terjun bebas, jatuh tersungkur mencium alas panggung acara deklarasi. Kasihan burungnya.

Kedua, saat pengambilan bola untuk menetapkan urutan pengambilan nomor capres, dari sepuluh bola yang dipilih bersamaan, Sandi Uno mendapatkan bola bernomor satu (pertama) dan KH. Ma'ruf Amin dapat bola bernomor sepuluh (terakhir), padahal ada sepuluh bola.

Ketiga, saat Prabowo mengambil nomor capres, yang diambil ternyata nomor 2 dan Jokowi nomor 1, terbalik dari Pilpres 2014. Yang unik selama ada tiga kontestasi pilpres langsung semua nomor genap yang jadi pemenang kontestasi.

Keempat, ijtima ulama ke-2 sudah sudah merekomendasikan capres yang akan dipilih. Apa yang unik: ijtima ke-2 ternyata untuk capres no 2. Hal lain hasil ijtima ulama ke-2 meminta Prabowo menandatangani 17 point pakta integritas untuk syarat jika ingin dipilih ulama, yang unik jika dijumlahkan angka 17 menjadi 8 artinya hasil ijtima ulama untuk Presiden RI ke-8, belum lagi tanggal lahir Prabowo adalah 17.

Kelima, saat pemilihan nomor urut partai politik, ternyata Partai Gerindra mendapatkan nomor 2, PAN nomor 12 dan PKS nomor 8. Uniknya, alumni 212 menterjemahkan semua nomor partai pengusung utama tersebut menjadi 212 untuk RI ke-8.


Keenam, ada papan reklame berfoto Jokowi di Bekasi yang ditabrak oleh pengemudi truk yang menewaskan pengemudi motor. Apa supir truk memilih papan reklame untuk tertabrak? Dipastikan musibah ini tidak direncanakan, turut berduka cita untuk pengemudi motor, semoga khusnul khatimah. Amin.

Ketujuh, di tengah kunjungan Presiden Jokowi di Pandeglang, Banten, di tengah terik matahari tiba-tiba halilintar menggelegar dan mengangetkan rombongan presiden dan masyarakat yang hadir, kasihan masyarakat dibuat kaget.

Kedelapan, Asian Games dimulai dengan diadakan "roadshow" api Asian Games yang berkeliling Indonesia dan diterima oleh setiap kepala daerah yang dikunjungi, tapi pada saat Kepala Negara menerima estapet obor yang membawa api Asian Games tersebut padam.

Jadi, simpulkan sendiri, apakah pertanyaan di atas adalah "tanda".



ISLAM Nusantara Jika kita menilik tradisi Islam nusantara, bangsa Indonesia sejak puluhan tahun telah menjalankan tradisi 'Sahur On The Road'  (SOTR) dan telah menjadi bagian tak terpisahkan umat Islam nusantara.
Namun tradisi umat Islam di berbagai belahan nusantara ini kerap dijadikan momok, bahkan dianggap sebagai tindakan vandalisme oleh pemimpin daerah, sebut saja Walikota Bogor Bima Arya. Pemimpin daerah Kota Bogor ini menegur para peserta Sahur on The Road agar tidak melakukan kegiatan ini karena kerap dijadikan ajang keributan, vandalisme dan mengganggu ketertiban umum. Selain itu, petugas menemukan anak di bawah umur yang ikut dalam rombongan menggunakan sepeda motor tidak disertai dengan izin mengemudi dan juga tidak menggunakan helm. 
Namun pandangan Walikota Bima Arya ini bertolak belakang dengan penggiat Sahur On The Road yang juga anggota DPD RI, Fahira Idris. Fahira justru menilai bahwa program SOTR ini dapat membentuk karakter remaja kita.
ISLAM Nusantara Fahira Idris adalah penggiat SOTR sejak remaja, ia menyatakan Sahur On The Road itu adalah tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun, "Sudah puluhan tahun SOTR jadi kebiasan masyarakat selama Ramadhan baik di Jakarta dan daerah lain. Mulai dari siswa, mahasiwa, perorangan, komunitas, perusahaan, hingga instansi pemerintah kerap melakukan"
"Sebenarnya jika pemerintah daerah di seluruh Indonesia jeli, kegiatan SOTR ini dapat dijadikan ajang membentuk karakter remaja kita.  Banyak nilai yang bisa diambil terutama oleh generasi muda kita dari SOTR." jelasnya kepada tim redaksi voa-islam.com.
Ia kemudian melanjutkan tentang hikmah di balik SOTR "Rasa empati, gotong royong, rela berkorban, dan ikhlas. Bukankah karakter seperti ini yang diperlukan saat nanti mereka memimpin negeri ini?"

Uni Fahira, demikian ia akrab disapa, menyayangkan jika pemerintah dan kepala daerah abai terkait SOTR, "Sayangnya dari pantuan saya hampir tidak ada kepala daerah atau jajarannya yang menjadikan SOTR terutama yang melibatkan generasi muda sebagai ajang pembentukan karakter. Anak-anak ini dilepas begitu saja, makanya ada beberapa kasus SOTR yang malah jadi ajang kebut-kebutan bahkan bentrok karena mereka tidak ada yang mengarahkan. Yang jadi pertanyaan apakah mereka ini benar-benar berniat #SOTR?"
Sayangnya dari pantuan saya hampir tidak ada kepala daerah atau jajarannya yang menjadikan SOTR terutama yang melibatkan generasi muda sebagai ajang pembentukan karakter.
Pelarangan SOTR ini Uni Fahira nilai sebagai bentuk kepala daerah yang tak mau pusing dengan keramaian aktivitas SOTR, "Nah karena ada kasus-kasus seperti ini beberapa kepala daerah daripada pusing-pusing ya sudah dilarang saja."

"Wacana pelarangan #SOTR apalagi alasannya karena nyampah saya rasa berlebihan. Namun, beberapa hari ini saya baca dimedia sepertinya pelarangan ini hanya wacana saja dan pak Ahok sudah mengizinkannya. Untuk itu saya secara pribadi mengucapkan terima kasih."imbuhnya lagi.
ISLAM Nusantara Nah tradisi nusantara ini dapat membentuk karakter remaja, SOTR tak pelak telah menjadi tradisi Islam nusantara, bukan Islam Arab semata. Ketika wacana Jemaat Islam Nusantara (JIN) menggema, kemana pembelaan aktivis JIN soal tradisi Islam nusantara akan berhembus 'mengantui' ruang wacana publik? [adivammar/voa-islam.com]

Jokowi Undercover : Buku Jokowi Undercover yang ditulis oleh Bambang Tri Mulyono dipasarkan melalui media sosial dan dijual dengan harga Rp150.000/buku.
"(Buku) dijual seharga Rp150.000 per buku," kata Kepala Divisi Humas Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Boy R Amar, di Jakarta, Senin (9/1). Hal itu dituturkan Bambang saat diperiksa penyidik.
Mulyono, dalam pemeriksaan itu, juga mengungkapkan, telah menjual sebanyak 300 eksemplar buku sebelum akhirnya ia ditangkap polisi.
Sementara jumlah keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan buku kontroversial itu, masih diselidiki.
"Berapa keuntungannya masih didalami penyidik. Saya belum tahu untungnya berapa," kata Amar.
Sebelumnya Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Tito Karnavian, meminta masyarakat yang telah membeli atau memiliki buku Jokowi Undercover agar menyerahkan buku itu kepada polisi.(Ant)

Jokowi Undercover : Polri akan menyelidiki pihak-pihak yang mungkin berada di belakang penulis buku Jokowi Undercover, Bambang Tri.
Kapolri Tito Karnavian menjelaskan, dari sisi kemampuan, diyakini Bambang Tri 'sulit untuk menyusun sendiri' buku tersebut.
"Kami akan dalami siapa yang menggerakkan, siapa yang mengajari dia (Bambang Tri). Kemampuan menulis dia berantakan. Dia tidak mengikuti sistematika, pelajaran-pelajaran orang yang terdidik. Sekelas skripsi saja tidak," kata Tito kepada para wartawan di Jakarta, hari Rabu (04/01).
"Kami akan lihat siapa di belakang dia, kami akan usut. Tolong catat itu," tegas Tito.
Bambang Tri ditahan di Blora, Jawa Tengah, pekan lalu dan saat menjalani pemeriksaan di Jakarta. Polisi mengatakan ia ditahan karena isi bukunya tak sesuai fakta, bersifat memfitnah, dan menebar kebencian.
Beberapa pihak mendukung polisi memproses kasus ini, namun sebagian lainnya menyayangkan, dengan mengatakan kasus ini bisa diatasi dengan pelarangan peredaran buku.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Eddyono, mengatakan hukum pidana adalah upaya terakhir apabila upaya-upaya penanganan lain telah gagal. Dia menganggap kasus ini bisa ditangani Kejaksaan Agung dengan melarang peredaran buku tersebut.
"Jaksa Agung punya hak untuk melakukan pengambilan buku-buku yang dianggap bertentangan dengan hukum Indonesia. Saya pikir ini yang mestinya didahulukan," kata Supriyadi kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan.

'Memfitnah kepala negara'


Jika polisi mempidanakan penulis buku tersebut, ia meminta lebih hati-hati dan cermat dalam menerapkan UU Diskriminasi dan UU ITE karena bersinggungan dengan isu kebebasan berekspresi.
"Memang kebebasan ekspresi menjadi pertaruhan dalam kasus-kasus seperti ini. Tetapi harus dipastikan lebih dahulu apakah memang substansi (isu buku) itu (berisi) ujaran kebencian," katanya.
Pemerhati masalah-masalah sosial politik, Frans Magnis Suseno mengatakan dirinya kurang sepakat apabila kasus buku Jokowi Undercover tidak diselesaikan secara hukum.
Menurutnya, tindakan polisi mempidanakan penulis buku tersebut merupakan kewajaran.
"Kalau betul-betul menyangkut penghinaan atau sesuatu yang dianggap fitnah dan yang dihina dan difitnah adalah kepala negara, saya pikir wajar diambil tindakan hukum," kata Frans Magnis.
Karenanya, dirinya tidak setuju jika masalah ini diserahkan kepada masyarakat untuk memberikan penilaian terhadap isi buku tersebut. "Karena yang ditulis dalam buku ini pernyataan-pernyataan yang bisa sangat merugikan presiden."
Frans Magnis menggarisbawahi tuduhan penulis yang menyebut Presiden Jokowi memiliki keluarga yang terkait Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurutnya, tindakan penulis yang tidak berdasar itu 'sangat kotor'.
Juru bicara Mabes Polri, Brigjen Rikwanto, mengatakan bahwa isi buku Jokowi Undercover 'tendensius' dan 'luar biasa bohongnya' sehingga meresahkan masyarakat.
Bambang Tri dalam video di laman Facebooknya pada 24 Desember lalu mengatakan dirinya menulis buku itu untuk membela negara.
"Saya tidak rela lembaga kepresidenan dilecehkan oleh seseorang yang bernama Jokowi," katanya.
Jokowi Undercover : Jakarta. Negara diharapkan segera menjelaskan kepada publik terkait identitas Presiden Joko Widodo yang masih dipersoalkan oleh banyak rakyat Indonesia.


“Di mana beliau lahir dan dibesarkan, apakah di Sragen atau di Sriroto Boyolali? Siapa orang tua sesungguhnya? Lantas apakah memang ada hubungan dengan PKI di tahun 1950-an dan 1960-an?” kata Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, Kamis (5/1/2017), seperti dilansir republika.co.id


Penjernihan tersebut dirasa perlu, karena menurutnya kesangsian identitas bisa menjadi tutur (diskursus) sejarah dan berita kelam pada masa yang akan datang. Penjernihan tersebut juga menurutnya akan membantu dalam menjaga nama baik, wibawa serta harkat keluarga Jokowi di masa yang akan datang.

justify;"> “Pemeintah sebaiknya membantu keluarga Presiden Jokowi agar menjaga nama baik, wibawa serta harkat dan martabatnya tetap lestari di masa yang akan datang,” ucap Natalius.


Dari itu, dalam kasus penulisan buku ‘Jokowi Undercover’, pemerintah sebaiknya hindari melakukan tindakan defensif dengan menyatakan isi buku tersebut tidak benar, fitnah, bohong, dan sebagainya. Menurutnya, akan lebih baik jika negara sejatinya membantu Jokowi dengan membentuk tim independen yang bertujuan untuk melakukan klarifikasi secara resmi, demi mengembalikan citra Jokowi dan keluarganya secara resmi.


“Tim ini bertugas menelusuri fakta sejarah, mengumpulkan dokumen, termasuk data rahasia negara sebagai data sekunder, pengambilan data primer, melakukan penyelidikan ilmiah (scientivic investigation) melalui Tes DNA, dan hasilnya bisa dibukukan serta diumumkan ke publik secara resmi,” kata Natalius.[dakwatuna.com]


(nahimunkar.com)

Buku 'Jokowi Undercover', diketahui sempat beberapa kali diajukan ke sejumlah penerbit buku untuk diterbitkan, namun buku yang ditulis Bambang Tri Mulyono itu selalu ditolak penerbit. Penolakan sejumlah penerbit itu, terkait dengan konten yang ditulis dalam buku tersebut.
"Yang bersangkutan pernah menawarkan ke penerbit, tetapi ditolak, karena isinya enggak bisa dipertanggungjawabkan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Polisi Rikwanto di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa 3 Januari 2017.
Menurut Rikwanto, buku 'Jokowi Udercover' yang ditulis Bambang Tri itu ditolak oleh penerbit, lantaran muatan dari buku itu tidak didasarkan pada sumber secara ilmiah dan penelitian akademis.
Sumber yang dikutip penulis lanjutnya, Bambang Tri hanya berdasarkan obrolan di jejaring media sosial dengan sumber yang tidak jelas. Kemudian, dari bahan-bahan yang dikutip dari media sosial itu disimpulkan dan dituangkan dalam tulisan buku tersebut.
"Tidak ada sama sekali ilmiah (sumber ilmiah), cek and ricek, atau survei di lapangan. atau pun mencocokan sumber yang penting. Jadi, kita anggap buku ini sama saja mencemarkan nama orang," ujarnya.
Karena, tidak ada penerbit yang mau menerbitkan bukunya, maka Bambang Tri berinisiatif mencetak sendiri buku 'Jokowi Undercover' setebal 436 halaman itu dengan cara di fotokopi.
"Pengakuan dia sementara, dia penulis tunggal. Mencetak bukunya di tempat fotokopian," jelasnya.
Setelah proses percetakan melalui mesin fotokopi, akhirnya Bambang memasarkan bukunya melalui jejaring sosial media, atau akun Facebook-nya sendiri.
"Dia mencetak sendri, dipesankan lewat internet juga, kita sedang lacak cetaknya di mana tempatnya, dia juga promosikan lewat internet," kata Rikwanto.
Kini, Bambang Tri telah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah ditahan di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Bambang Tri disangkakan dengan Pasal 16 UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik. Kemudian, Bambang juga dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Serta, pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa Negara.